//
you're reading...
Ethnografi

Antropolog Dalam Cerpen Tajen Terakhir

Mengangkat tema tradisi & budaya lokal dalam karya sastra tidak terlalu sulit untuk menemukannya. Namun melengkapinya dengan kehadiran Antropolog di dalamnya, tentu tak banyak. Satu diantaranya adalah Cerpen dari Gde Aryantha Soethama, berjudul Tajen Terakhir, terbit di Kompas Minggu, 16 Agustus 2015.

Ceritanya tentang seorang pejudi sabung ayam (bobotoh) di Bali bernama Nyoman Pingkod yang berkeinginan kuat untuk berhenti berjudi. Untuk itu, ia meminjam Lontar Pengayam Pegat kepada Made Sambrag mantan bobotoh kelas wahid yang berhasil berhenti ketika melaksanakan ajaran Lontar Pengayam Pegat. Ia seperti lahir kembali, jadi manusia arif penasehat bagi siapa saja yang berniat meninggalkan tajen (perjudian), menjadikannya cuma sekerat masa lalu yang getir. Kepada mereka yang sungguh-sungguh Sambrag meminjamkan Lontar Pengayam Pegat.

Dikisahkan bahwa Lontar Pengayam Pegat ini hanya sembilan lembar. Walau Sambrag menyebut syaratnya tidak berat, Pongkod hampir putus asa setelah empat bulan menunggu untuk mendapatkan tajen terakhirnya yang tepat sesuai dengan hari baik sesuai dengan tanggal kelahirannya. Syaratnya lontar itu harus diletakkan di kamar tersendiri, di hulu tempat tidur, disajeni setiap hari. Di kamar itu Pongkod harus tidur sendiri dan selama itu tak boleh menggauli isterinya.

Pongkod berteman dengan James Brolin, yang seperti halnya Pongkod melakukan Tajen terakhir untuk menuntaskan penelitiannya. Keduanya sepakat untuk bertaruh di tajen terakhir mereka.

James Brolin, antropolog dari Unibersitas Bristish, Colombia, Kanada, hilir mudik ke berbagai sabungan ayam untuk melengkapi disertasinya tentang hiruk pikuk psikologi tajen. Tentu disertasinya akan diterbitkan menjadi buku dan para pakar sosial Tanah Air ramai-ramai merujuknya. Sudah lazim begitu, banyak orang bangga mengutip hasil penelitian bumi sendiri yang dikerjakan peneliti asing.

James Brolin dikenal akrab dan luas para penyabung ayam karena ikut langsung berjudi untuk mendalami apa yang ia teliti. Banyak yang menyukai James karena ia bertaruh dengan dolar, selain ia fasih berbahasa Indonesia, kadang menggunakan bahasa Bali, kendati sepotong-sepotong. Logatnya khas bule, percakapan jadi jenaka, membuat para bebotoh tergelak-gelak.

****

Judi sabung ayam di Bali sudah menjadi tradisi, dan antropolog

Dalam sisi antropologi hal ini melatarbelakangi Clifford Geertz untuk meneliti Tajen. Geertz ingin menjelaskan bahwa sabung ayam bukan hanya sekedar hanya pertandingan antar ayam jago saja tetapi di dalam sabung ayam tersirat makna bahwa yang bertarung adalah manusianya atau pemilik ayam jago tersebut. Dalam kesehariannya, mereka menghabiskan waktu untuk merawat ayam jago kesayangan mereka masing-masing yang akan pertandingkan. Biasanya mereka berjongkok bermalas-malasan di bengsal pertemuan atau di sepanjang jalan dengan pinggul di bawah, bahu ke depan, seperti berlutut, separuh atau lebih dan memegang seekor jago, mengapit seekor jago diantara kedua pahanya, naik turun dengan lembut untuk menguatkan kaki-kakinya, membelai bulu-bulunya. Usai pertandingan, yang memenangkan pertandingan maka sang ayam akan dibawa pulang kerumah sang pemenang dan dimakan bersama. Bagi mereka yang telah kalah dalam sabung ayam akan merasa sangat malu dan pada masyarakat karena harga dirinya telah jatuh terinjak-injak. Hal utama yang ditekankan dalam sabung ayam orang Bali bukan terletak pada uang atau taruhannya, melainkan isi dari pertandingan sabung ayam tersebut meskipun uang mempunyai peran yang sangat penting. Isi atau makna yangtersirat dalam pertandingan sabung ayam itu adalah perpindahan hierarkhi statusorang Bali ke dalam susunan sabung ayam. Dalam hal ini sabung ayam dilihat sebagai sebuah indikator dari kepribadian laki-laki yang dijunjung tinggi kedudukannya dalam masyarakat.. Ayam jantan yang dipakai dalam sabung ayam dicirikan sebagai pengganti kepribadian si pemilik ayam jago dan sabung ayam dengan sengaja dibentuk menjadi sebuah simulasi matriks sosial, sistem yang berlaku dari kelompok- kelompok yang besilangan, bertumpang tindih. Pertandingan tersebut, menurut Geertz, hanya ada di antara orang-orang yang sejajar dan dekat secara pribadi. Tetapi terkadang juga digelar diantara individu-individu dengan status tinggi. Jika ditelaah lebih mendalam maka semakin dekatlah pertandingan sabung ayam itu dengan manusia yang semakin memberikan yang terbaik darinya dan pada akhirnya mengarah kepada pencirian si ayam jago.

( “The Balinese Way of Life” ). Sabung ayam biasanya diadakan  di salah satu sudut desa yang jarang dilewati oleh orang banyak dan tempatnya dirahasiakan oleh masyarakat sekitar. Arena sabung ayam mewakili Bali atau indentik dengan Bali, sama seperti Amerika yang indentik dengan permainan bola basket . Pada arena adu ayam yang terlihat bertarung adalah ayam, tetapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali.

Identifikasi psikologi yang mendalam  tentang kaum pria di Bali dengan ayam mereka tidak dapat dipisahkan. Bateson dan Mead mengatakan jika dikaitkan dengan konsepsi masyarakat Bali tentang tubuh sebagai satu bagian terpisah dari kehidupan, maka ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah alat ambulant genital dengan kehidupan mereka sendiri. Pada kenyataannya ayam-ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka.            

About saruhumrambe

Berlatar belakang pendidikan Antropologi. Aktif diorganisasi sebagai sekretaris Asosisasi Antropologi Indonesia (AAI) Sumut. Bekerja secara mandiri sebagai konsultan komunikasi dan sosial.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Meta